Salam Budaya....

Salam Budaya

Minggu, 18 April 2010

Sejarah Teater Indonesia

Teater Tradisional

Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di

Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia

dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda

bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk

mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari

suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara

kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”,

sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan

suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari

kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni

pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat

lingkungannya.

Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia

sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini

disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-

beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan

tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa

bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.

Wayang

Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat

tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri

sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan

berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja

Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk

adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung

dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada

saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.

Gb.17 Pementasan wayang kulit

Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin

Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam

abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian

tradisi yang sangat tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu

belum jelas tergambar model pementasannya.

Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta

di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah

para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan

Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan

manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal

(daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian

berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.

Wayang Wong (wayang orang)

Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang,

yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang

wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang

Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang,

lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater

tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang

terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada

juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu

populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para

seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit

yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan

orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang

memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri.

Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.

Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater

tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku

(pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul

dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang

agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan

dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun

tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan

dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak

pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam

pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena

para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-

gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan

oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di

Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang

memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.

Makyong

Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat

kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah

satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa

tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian

dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita

kerajaan. Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-

sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.

Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat


Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang

memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.

umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian,

nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang

sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber

pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa

Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal

dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.

Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang

dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan

akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang

pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat

pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang

dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan

berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.

Gb.19 Penari dalam pertunjukan makyong

Randai

Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat

kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat.

Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih

digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di

kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari

sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut

“kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.

Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.

• Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah

kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu.

Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung,

rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.

• Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan

melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari

gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai

variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-

masing daerah.

Mamanda

Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis

kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda, yang

merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang orang sering

menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 datang ke

Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih

dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan

ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan

Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat

yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek.

Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek

karangan Saleha.

Lenong

Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater

tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh

berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya,

dibandingkan dengan lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan

bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa

lampau. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang

Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional

yang disebut topeng Betawi, lenong, topeng blantek, dan jipeng atau

jinong. Pada kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak

persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang

dihidangkan dan musik pengiringnya.

Longser

Longser merupakan jenis teater tradisional yang bersifat

kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda.

Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda serupa dengan

longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten), yang

dinamakan ubrug.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata

melong (melihat) dan seredet (tergugah). Artinya barang siapa melihat

(menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser

sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat

hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka.

Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan

Ketoprak

Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama

di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur


pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak

merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan

mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.

Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa

yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan

purnama, yang disebut

gejogan. Dalam perkembangannya menjadi

suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu

bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang

digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang

digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggah-

ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa

yang digunakan, yaitu:

• Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)

• Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)

• Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)

Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja

penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa.

Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan

bahasa yang halus dan spesifik.

Ludruk

Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di

daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang

digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam

perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat

seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri

bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat

makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah

yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering

ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk

tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar,

Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.

Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun

dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal

sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya

selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman

itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.

Gambuh

Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan

diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah

bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali

sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian

klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau

gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah

gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan

kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh

dipelihara di istana raja-raja.

Gb.25 Pemain gambuh sedang beraksi

Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur

cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang

dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri.

Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan

para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan

menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.

Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan

dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat

yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering

disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan

dengan “opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi

mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus dapat

menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk

di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan

musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan

dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam

gamelan adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang

pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.

Arja

Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan,

dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja

merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi.

Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan

porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang).

Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan

unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang

(nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan

bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapa.

Teater Modern

Teater Transisi

Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada

periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena

pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok

teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik

teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak

pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita

ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian

cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi.

Mulai

memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.

Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan

teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater

tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh

orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian

berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya

gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian

Jakarta).

Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai

sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada

tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti

budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum

menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai

mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama

yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden

Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok

Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan

lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.

Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara

seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang

didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926.

Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul,

Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel

Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa

teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara.

Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama

sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai

pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah

sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia

baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.

Teater Indonesia tahun 1920-an

Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru

kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia

tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah

drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih

menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama

Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual

dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras

terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama

yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan

model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya

kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam

Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi

pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh

utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat

Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya

(1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis

Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta

Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi

naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan

judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu

Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai

Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini

ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi

mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini

adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa

Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden

pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan

menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon

yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.

Teater Indonesia tahun 1940-an

Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu

penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan

totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan

untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian,

dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu

Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan

Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan

kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya

untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional

Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno

dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai

berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai

anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama

Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan

kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan

menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.

Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian

Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia,

ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda

Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan

nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.

Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah

Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka

sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang

kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.

Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan

sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara

profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang

berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti

budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya

Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia,

Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang

dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun

Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor

dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali

Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong

Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini

dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara

lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A

Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya

menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama

seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di

antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan

lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode

show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .

Menyusul kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada,

dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya

Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara

Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater

mereka karena

Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa

rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida

Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.

Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola

pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu

masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin

sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara

Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah

penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang

keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia

menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi

lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil

meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. cerita-

cerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan

Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.

Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan

sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari

rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa

berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama

menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-

cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.

Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6

April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari.

Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang

menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru

kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk

penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih

suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak

lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut

mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara

lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok,

Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain,

Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari

semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu

Malam dan Nusa Penida.

Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian

Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli

seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD

(Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua

rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon

yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan

penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat

Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei

Natsu Eitaroo menulis

Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen

diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh

Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena

ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya.

Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang

sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal

dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara.

Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan

sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar

Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma

dengan

dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan

para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional

(dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan

nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan

ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya

sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan

kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas

dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan.

Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar

Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di

Jakarta.

Teater Indonesia Tahun 1950-an

Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman

untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga

sebaliknya, mereka

merenungkan peristiwa perang kemerdekaan,

kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan,

pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut,

keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang

secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955),

Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor

Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit

Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang

bercerita tentang kekecewaan paska perang, seperti korupsi,

oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme,

melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap

dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain

(1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan

Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In

Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan

Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai

tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia

dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi

sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak

hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.

Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi

pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh

idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat

dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya

Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar

Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme

dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-

karya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan

pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian.

Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang

pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang

menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing,

Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim

Achmad. Di Yogyakarta

tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono

mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI).

Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

Teater Indonesia Tahun 1970-an

Jim lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai

mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater

etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan

teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor

terbaik

dan

para

sutradara

realisme

konvensional.

Karya

penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman

Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon

The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat

(Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar,

(Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.

Gb.27 Salah satu pementasan Studiklub Teater Bandung

Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan

musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan

Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya

menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis

tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945),

Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950).

Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna

Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang

sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat

dengan teater etnis.

Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan

realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke

Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian

menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan

naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan

tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh

dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan

teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya

misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).

Gb.28 Proses latihan Bengkel Teater Rendra

Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali

Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya

aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di

kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,

Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki

menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh

belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan

secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau

khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht,

Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.

Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu

teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk)

melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel

Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta

Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah

Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan

teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi

mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh

Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.

Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah,

Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing,

Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja),

Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin

C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari

blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu

Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum

yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan

dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang

menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.

N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang

mengutamakan tata artistik glamor.

Gb.29 Pementasan Teater Koma pimpinan N. Riantiarno

Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an

Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam

melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional.

Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari

1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu

lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk

festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta

(sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di

unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi

menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.

Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan

muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.

Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti,

Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu

posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui

eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar

Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan

Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).

Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi.

Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari

Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di

Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi

satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk

bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu

menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan

artistik.

Teater Kontemporer Indonesia

Gb.31 Salah satu pementasan teater kontemporer

Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang

sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni

teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas

masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80-

an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun

seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental

terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni

teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam

Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang

diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di

Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi

Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.

Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai

kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik,

Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik

menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater

tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di

masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain,

Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde

Tabung.

Gb.30 Pementasan teater Gandrik

Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan

bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat

pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo

ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Re-

publik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival

Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil,

Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol,